Ujian Nasional (UN). Sebuah jadwal tahunan yang diselenggarakan oleh pemerintah
untuk mengevaluasi hasil belajar siswa selama tahun-tahun sebelumnya.
Sebuah penentu kelayakan seorang siswa untuk lulus dari jenjang
pendidikan yang sudah dia jalani atau tidak. UN sudah sejak lama ada,
meliputi berbagai tingkat pendidikan, mulai dari SD, SMP, sampai yang
terakhir, yakni SMA. Sudah sejak lama pula UNAS menuai pro dan kontra,
yang mana rupanya kontra itu belakangan ini berhasil ‘memaksa’
pemerintah untuk menghapuskan UNAS di tingkatan SD. Sedang untuk tingkat
SMP dan SMA, kemungkinan itu masih harus menunggu.
Tiap kali UN akan digelar, seluruh elemen masyarakat ikut tertarik
ke dalam pusaran perbincangannya. Perdebatan tentang perlu-tidaknya
diadakan UN tak pernah absen dari obrolan ringan di warung kopi, dan
acara-acara yang mengklaim ingin memotivasi para peserta UN pun
bermunculan di berbagai channel televisi. Di sela-sela program motivasi
itu, jikalau ada sesi tanya-jawab, hampir bisa dipastikan akan ada
seorang partisipan yang melempar tanya:
“Bagaimana dengan kecurangan UN?”
Ah, ya, UN memang belum pernah lepas dari ketidakjujuran.
Sekarang, jangan marah jika saya bilang bahwa UN identik dengan
kecurangan. Sebab jika tidak, pertanyaan itu tidak akan terlalu sering
terdengar. Tapi nyatanya, semakin lama pertanyaan itu semakin berdengung
di tiap sudut daerah yang punya lembaga pendidikan; dan tahukah apa
yang menyedihkan? Yang paling menyedihkan adalah saat lembaga-lembaga
pendidikan itu, tempat kita belajar mengeja kalimat ‘kejujuran adalah
kunci kesuksesan’ itu, hanya mampu tersenyum tipis dan menahan kata di
depan berita-berita ketidakjujuran yang simpang-siur di berbagai media.
UN dengan segala problematika dan dilematika yang dibawanya memang
tak pernah habis untuk dikupas, dan sayangnya ia tak pernah bosan pula
menemui jalan buntu. Dari tahun ke tahun selalu ada laporan tentang
kecurangan, tetapi ironisnya setiap tahun itu pula pemerintah tetap
tersenyum dan mengabarkan dengan bahagia bahwa ‘UN tahun ini mengalami
peningkatan, kelulusan tahun ini mengalami kenaikan, rata-rata tahun
ini mengalami kemajuan’, dan hal-hal indah lainnya. Dulu, saat saya
belum menginjak kelas tiga, saya berpikir bahwa grafik itu benar adanya
dan saya pun terkagum-kagum oleh peningkatan pendidikan yang dialami
oleh generasi muda Indonesia.
Tetapi sekarang, sebagai pelajar yang akan menjalani UN…
dengan berat hati saya mengaku bahwa saya tidak bisa lagi percaya pada
dongeng-dongeng itu.
Saya
justru punya banyak pertanyaan yang saya pendam dalam hati saya. Banyak
beban pikiran yang ingin saya utarakan kepada Bapak Menteri Pendidikan.
Tapi tenang saja, Bapak tidak perlu menjadi pembaca pikiran untuk tahu
semua itu, karena saya akan menceritakannya sedikit demi sedikit di
sini. Dari berbagai kekalutan dan tanda tanya yang menyesaki otak sempit
saya, saya merumuskannya menjadi tiga poin penting…
Pertama, tentang kesamarataan bobot pertanyaan-pertanyaan UN, yang tahun ini Alhamdulillah ada dua puluh paket.
Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat… pernah tidak terpikir oleh
Bapak bagaimana caranya seorang guru Bahasa Indonesia bisa membuat 20
soal yang berbeda, dengan tingkat kesulitan yang sama, untuk satu SKL
saja? Pernah tidak terpikir oleh Bapak bagaimana caranya seorang guru
Biologi membuat 20 soal yang berbeda, dengan taraf kesulitan yang sama,
hanya untuk satu indikator ‘menjelaskan fungsi organel sel pada tumbuhan
dan hewan’?
Menurut otak sempit saya, sejujurnya, itu mustahil. Mau tidak mau
akan ada satu tipe soal yang memuat pertanyaan dengan bobot lebih susah
dari tipe lain. Hal ini jelas tidak adil untuk siswa yang kebetulan
apes, kebetulan mendapatkan tipe dengan soal susah sedemikian itu. Sebab
orang tidak akan pernah peduli apakah soal yang saya terima lebih susah
dari si A atau tidak. Manusia itu makhluk yang seringkali terpaku pada
niai akhir, Pak. Orang tidak akan pernah bertanya, ‘tipe soalmu ada
berapa nomor yang susah?’ melainkan akan langsung bertanya, ‘nilai
UNmu berapa?’.
Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, di sini Bapak akan
beralasan, barangkali, bahwa jika siswa sudah belajar, maka sesusah
apapun soalnya tidak akan bermasalah. Tapi coba ingat kembali, Pak, apa
sih tujuan diadakannya Ujian Nasional itu? Membuat sebuah standard untuk
mengevaluasi siswa Indonesia, ‘kan? Untuk menetapkan sebuah garis yang
akan jadi acuan bersama, ‘kan? Sekarang, bagaimana bisa UN dijadikan
patokan nasional saat antar paket saja ada ketidakmerataan bobot soal?
Ini belum tentang ketidakmerataan pendidikan antar daerah, lho, Pak.
Pernah terpikirkah oleh Bapak, bahwa tingkat soal yang sedemikian
inilah yang memacu kami, para pelajar, untuk berbuat curang? Jika tidak…
saya beritahu satu hal, Pak. Ada beberapa teman saya yang tadinya
bertekad untuk jujur. Mereka belajar mati-matian, memfokuskan diri pada
materi yang diajarkan oleh para guru, dan berdoa dengan khusyuk. Tetapi
setelah melihat soal yang tidak berperikesiswaan itu, tekad mereka
luruh. Saat dihadapkan pada soal yang belum pernah mereka lihat
sebelumnya itu, mereka runtuh. Mereka menangis, Pak. Apa kesalahan
mereka sehingga mereka pantas untuk dibuat menangis bahkan setelah
mereka berusaha keras? Beberapa dari mereka terpaksa mengintip jawaban
yang disebar teman-teman, karena dihantui oleh perasaan takut tidak
lulus. Beberapa lainnya hanya bisa bertahan dalam diam, menggenggam
semangat mereka untuk jujur, berdoa di antara airmata mereka… berharap
Tuhan membantu.
Saya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan teman-teman yang terpaksa
curang setelah mereka belajar tetapi soal yang keluar seperti itu. Kami
mengemban harapan dan angan yang tak sedikit di pundak kami, Pak.
Harapan guru. Harapan sekolah. Harapan orangtua. Semakin jujur kami,
semakin berat beban itu. Sebelum sampai di gerbang UN, kami telah
melewati ulangan sekolah, ulangan praktek, dan berbagai ulangan lainnya.
Tenaga, biaya, dan pikiran kami sudah banyak terkuras. Tetapi saat kami
menggenggam harapan dan doa, apa yang Bapak hadapkan pada kami?
Soal-soal yang menurut para penyusunnya sendiri memuat soal OSN. Yang
benar saja, Pak. Saya tantang Bapak untuk duduk dan mengerjakan soal
Matematika yang kami dapat di UN kemarin selama dua jam tanpa melihat
buku maupun internet. Jika Bapak bisa menjawab benar lima puluh persen
saja, Bapak saya akui pantas menjadi Menteri. Kalau Bapak berdalih ‘ah,
ini bukan bidang saya’, lantas Bapak anggap kami ini apa? Apa Bapak kira
kami semua ini anak OSN? Apa Bapak kira kami semua pintar di
Matematika, Fisika, Biologi, Kimia, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris
sekaligus? Teganya Bapak menyuruh kami untuk lulus di semua bidang itu?
Sudah sepercaya itukah Bapak pada kecerdasan kami?
Tidak.
Tentu saja Bapak tidak sepercaya itu pada kami. Sebab jika Bapak
percaya, Bapak tidak akan sampai terpikir untuk membuat dua puluh paket
soal, padahal lima paket saja belum tentu bobot soal kelima paket itu
seratus persen sama. Jika Bapak percaya, Bapak tidak akan sengaja
meletakkan persentase UN di atas persentase nilai sekolah untuk nilai
akhir kami, padahal belum tentu kemurnian nilai UN itu di atas
kemurnian nilai sekolah. Jika Bapak percaya, Bapak tidak akan merasa
perlu untuk melakukan sidak. Jika Bapak percaya… mungkin Bapak bahkan
tidak akan merasa perlu untuk mengadakan UN.
Kejujuran itu awalnya sakit, tapi buahnya manis.
Dan saya tahu itu, Pak.
Tapi bukankah Pengadilan Negeri tetap ada meski kita semua tahu keadilan pasti akan menang?
Bukankah satuan kepolisian masih terus merekrut polisi-polisi baru meski kita semua tahu kebenaran pasti akan menang?
Dan bukankah itu tugas Bapak dan instansi-instansi pendidikan, untuk
menunjukkan pada kami, para generasi muda, bahwa kejujuran itu layak
untuk dicoba dan tidak mustahil untuk dilakukan?
Kejujuran itu awalnya sakit, buahnya manis.
Tapi itu bukan alasan bagi Bapak untuk menutup mata terhadap kecurangan yang terjadi di wilayah kewenangan Bapak.
Kami yang berusaha jujur masih belum tahu bagaimana nasib nilai UN
kami, Pak. Tapi barangkali hal itu terlalu remeh jika dibandingkan
dengan urusan Bapak Menteri yang bejibun dan jauh lebih berbobot. Maka
permintaan saya mewakili teman-teman pelajar cuma satu; tolong,
perbaikilah UN, perbaikilah sistem pendidikan di negeri ini, dan
kembalikan sekolah yang kami kenal. Sekolah yang mengajarkan pada kami
bahwa kejujuran itu adalah segalanya. Sekolah yang tidak akan diam saat
melihat kadernya melakukan tindak kecurangan. Kami mulai kehilangan
arah, Pak. Kami mulai tidak tahu kepada siapa lagi kami harus percaya.
Kepada siapa lagi kami harus mencari kejujuran, ketika lembaga yang
mengajarkannya justru diam membisu ketika saat untuk mengamalkannya
tiba…