Pages

  • PHYTON DI SANGGALURI PARK

    Ini waktu megang Ular Phyton di Taman Reptil Sanggaluri Park Purbalingga with Nafisan, Fahmi, Iqbal and Rama.[...]

  • LIFTING WATER KEMWIL 2012

    Perjuangan Prajurit Assalaam dalam Pos Lifting Water saat Scout Adventure Kemwil 2012 di Bumi Perkemahan Munjulluhur[...]

  • ABSP KEMWIL SOLID TEAM

    Foto Bersama sebelum Keberangkatan menuju Bumi Perkemahan Purbalingga! Solid Full Team!!![...]

  • 2 TROFI! GLORY ASSALAAM!

    Perjuangan Assalaam tak sia-sia! 2 Trofi Kemenangan pun dibawa pulang ke Pondok Assalaam! Allahuakbar!.[...]

Sabtu, 29 November 2014

Evan Dimas, Jokowi dan Ahok

Posted by Fajrul Izzi on 18.00



Harapan yang telah pupus kini bersemi kembali. Kalimat yang rada puitis ini pantas didengungkan, setelah sebelumnya Timnas Indonesia bermain layaknya hanya untuk lahirnya moment hancurnya keinginan para pecinta sepak bola Indonesia. Keinginan untuk melihat tim kesayangannya berjaya mengangkat nama Indonesia di manca negara. Jangan main-main, bagi rakyat Indonesia, sepak bola itu adalah simbol bagaimana negara ini diatur, dimotori oleh orang-orang yang tepat dan dimainkan dalam management yang tepat dan menghasilkan perubahan-perubahan yang diimpikan.
Maka melihat seorang Evan Dimas Darmono, mirip-mirip dengan melihat seorang tokoh Politik di Indonesia yang dikenal karena kerja keras dan keahliannya. Otak manusia terkadang mengkategorikan bidang-bidang politik, olahraga, hukum dan seni. Tetapi juga terkadang melihatnya dalam kategori yang lain, siapa yang membawa harapan bagi Indonesia dan siapa yang menghancurkan harapan tersebut. Sebelumnya Indonesia telah mengenal dan menyimpan dalam pikiran tokoh-tokoh mengagumkan era sekarang seperti Joko Widodo  Presiden Blusukan Indonesia, Tri Rismaharini, Ridwan Kamil dan yang lain.  Kini pikiran kita tersebut menyimpan satu nama pembawa harapan Evan Dimas Darmono.
Menghasilkan gol pembuka yang mengagumkan di laga melawan Laos di menit ke 8, sekaligus membuka semangat para pemain yang lain untuk kembali “mempunyai roh” dalam pertandingan. Permainan yang mobile, disusul kemudian sebuah assist yang membuktikan diri bermain untuk tim. Semuanya itu menjadi jembatan baginya dari kesuksesan di Timnas U-19, menyeberang ke Timnas Senior. Bila di Timnas U-19, Evan Dimas adalah Calon Bintang Sepak Bola Indonesia, kini ia adalah bintang Timnas Indonesia. Pantas untuk didukung oleh seluruh masyarakat Indonesia untuk dijaga, ditempatkan pada sebuah sistem dan iklim yang tepat, guna mengharumkan nama sepak bola Indonesia dan Negara Indonesia.
Sebagaimana tokoh lainnya, Evan Dimas juga menunggu  kendaraan yang tepat untuk kiprahnya di dunia sepak-bola. Bukan hanya memilih klub yang tepat, tetapi lebih jauh lagi system dan kultur sepak bola yang tepat. Sama seperti Joko Widodo yang mengutamakan orang-orang yang profesional untuk menjadi menteri di Kabinet Kerja (walau akhirnya ada juga yang “mencoba-coba kerja”), Ahok bersiap-siap memilih wakil yang tepat dengan paradigma kerja), Evan Dimas juga pantas untuk mencari dan menemukan siapa yang mendampinginya di klub dan di persepakbolaan Indonesia. Untuk itu perlu gerakan masive. Bila Joko Widodo didukung oleh para Volunteer demikian juga Ahok didukung oleh masyarakat Jakarta dan sebagian anggota DPRD , maka kini para pecinta sepakbola dan Indonesia harus mendukung Evan Dimas untuk mencari dan menciptakan kendaraan dan budaya yang tepat di lingkungan Sepak Bola Indonesia.
Untuk itu mari melihat dan mari mengkritisi apakah orang-orang yang ada di PSSI, BTN dan kelembagaan sepak-bola Indonesia adalah orang-orang yang tepat, bukan titipan atau yang hanya cari batu-loncatan. (izzi)

Sabtu, 22 November 2014

Surat Terbuka untuk Bapak Menteri Pendidikan: Dilematika Ujian Nasional

Posted by Fajrul Izzi on 17.18

 Poster Surat Terbuka untuk Menteri Pendidikan



        Ujian Nasional (UN). Sebuah jadwal tahunan yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk mengevaluasi hasil belajar siswa selama tahun-tahun sebelumnya. Sebuah penentu kelayakan seorang siswa untuk lulus dari jenjang pendidikan yang sudah dia jalani atau tidak. UN sudah sejak lama ada, meliputi berbagai tingkat pendidikan, mulai dari SD, SMP, sampai yang terakhir, yakni SMA. Sudah sejak lama pula UNAS menuai pro dan kontra, yang mana rupanya kontra itu belakangan ini berhasil ‘memaksa’ pemerintah untuk menghapuskan UNAS di tingkatan SD. Sedang untuk tingkat SMP dan SMA, kemungkinan itu masih harus menunggu.

          Tiap kali UN akan digelar, seluruh elemen masyarakat ikut tertarik ke dalam pusaran perbincangannya. Perdebatan tentang perlu-tidaknya diadakan UN tak pernah absen dari obrolan ringan di warung kopi, dan acara-acara yang mengklaim ingin memotivasi para peserta UN pun bermunculan di berbagai channel televisi. Di sela-sela program motivasi itu, jikalau ada sesi tanya-jawab, hampir bisa dipastikan akan ada seorang partisipan yang melempar tanya:
“Bagaimana dengan kecurangan UN?”
Ah, ya, UN memang belum pernah lepas dari ketidakjujuran.
Sekarang, jangan marah jika saya bilang bahwa UN identik dengan kecurangan. Sebab jika tidak, pertanyaan itu tidak akan terlalu sering terdengar. Tapi nyatanya, semakin lama pertanyaan itu semakin berdengung di tiap sudut daerah yang punya lembaga pendidikan; dan tahukah apa yang menyedihkan? Yang paling menyedihkan adalah saat lembaga-lembaga pendidikan itu, tempat kita belajar mengeja kalimat ‘kejujuran adalah kunci kesuksesan’ itu, hanya mampu tersenyum tipis dan menahan kata di depan berita-berita ketidakjujuran yang simpang-siur di berbagai media.
UN dengan segala problematika dan dilematika yang dibawanya memang tak pernah habis untuk dikupas, dan sayangnya ia tak pernah bosan pula menemui jalan buntu. Dari tahun ke tahun selalu ada laporan tentang kecurangan, tetapi ironisnya setiap tahun itu pula pemerintah tetap tersenyum dan mengabarkan dengan bahagia bahwa ‘UN tahun ini mengalami peningkatan, kelulusan tahun ini mengalami kenaikan, rata-rata tahun ini mengalami kemajuan’, dan hal-hal indah lainnya. Dulu, saat saya belum menginjak kelas tiga, saya berpikir bahwa grafik itu benar adanya dan saya pun terkagum-kagum oleh peningkatan pendidikan yang dialami oleh generasi muda Indonesia.
Tetapi sekarang, sebagai pelajar yang akan menjalani UN… dengan berat hati saya mengaku bahwa saya tidak bisa lagi percaya pada dongeng-dongeng itu.

          Saya justru punya banyak pertanyaan yang saya pendam dalam hati saya. Banyak beban pikiran yang ingin saya utarakan kepada Bapak Menteri Pendidikan. Tapi tenang saja, Bapak tidak perlu menjadi pembaca pikiran untuk tahu semua itu, karena saya akan menceritakannya sedikit demi sedikit di sini. Dari berbagai kekalutan dan tanda tanya yang menyesaki otak sempit saya, saya merumuskannya menjadi tiga poin penting…

Pertama, tentang kesamarataan bobot pertanyaan-pertanyaan UN, yang tahun ini Alhamdulillah ada dua puluh paket.
Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat… pernah tidak terpikir oleh Bapak bagaimana caranya seorang guru Bahasa Indonesia bisa membuat 20 soal yang berbeda, dengan tingkat kesulitan yang sama, untuk satu SKL saja? Pernah tidak terpikir oleh Bapak bagaimana caranya seorang guru Biologi membuat 20 soal yang berbeda, dengan taraf kesulitan yang sama, hanya untuk satu indikator ‘menjelaskan fungsi organel sel pada tumbuhan dan hewan’?
Menurut otak sempit saya, sejujurnya, itu mustahil. Mau tidak mau akan ada satu tipe soal yang memuat pertanyaan dengan bobot lebih susah dari tipe lain. Hal ini jelas tidak adil untuk siswa yang kebetulan apes, kebetulan mendapatkan tipe dengan soal susah sedemikian itu. Sebab orang tidak akan pernah peduli apakah soal yang saya terima lebih susah dari si A atau tidak. Manusia itu makhluk yang seringkali terpaku pada niai akhir, Pak. Orang tidak akan pernah bertanya, ‘tipe soalmu ada berapa nomor yang susah?’ melainkan akan langsung bertanya, ‘nilai UNmu berapa?’.
Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, di sini Bapak akan beralasan, barangkali, bahwa jika siswa sudah belajar, maka sesusah apapun soalnya tidak akan bermasalah. Tapi coba ingat kembali, Pak, apa sih tujuan diadakannya Ujian Nasional itu? Membuat sebuah standard untuk mengevaluasi siswa Indonesia, ‘kan? Untuk menetapkan sebuah garis yang akan jadi acuan bersama, ‘kan? Sekarang, bagaimana bisa UN dijadikan patokan nasional saat antar paket saja ada ketidakmerataan bobot soal? Ini belum tentang ketidakmerataan pendidikan antar daerah, lho, Pak.

Pernah terpikirkah oleh Bapak, bahwa tingkat soal yang sedemikian inilah yang memacu kami, para pelajar, untuk berbuat curang? Jika tidak… saya beritahu satu hal, Pak. Ada beberapa teman saya yang tadinya bertekad untuk jujur. Mereka belajar mati-matian, memfokuskan diri pada materi yang diajarkan oleh para guru, dan berdoa dengan khusyuk. Tetapi setelah melihat soal yang tidak berperikesiswaan itu, tekad mereka luruh. Saat dihadapkan pada soal yang belum pernah mereka lihat sebelumnya itu, mereka runtuh. Mereka menangis, Pak. Apa kesalahan mereka sehingga mereka pantas untuk dibuat menangis bahkan setelah mereka berusaha keras? Beberapa dari mereka terpaksa mengintip jawaban yang disebar teman-teman, karena dihantui oleh perasaan takut tidak lulus. Beberapa lainnya hanya bisa bertahan dalam diam, menggenggam semangat mereka untuk jujur, berdoa di antara airmata mereka… berharap Tuhan membantu.
Saya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan teman-teman yang terpaksa curang setelah mereka belajar tetapi soal yang keluar seperti itu. Kami mengemban harapan dan angan yang tak sedikit di pundak kami, Pak. Harapan guru. Harapan sekolah. Harapan orangtua. Semakin jujur kami, semakin berat beban itu. Sebelum sampai di gerbang UN, kami telah melewati ulangan sekolah, ulangan praktek, dan berbagai ulangan lainnya. Tenaga, biaya, dan pikiran kami sudah banyak terkuras. Tetapi saat kami menggenggam harapan dan doa, apa yang Bapak hadapkan pada kami? Soal-soal yang menurut para penyusunnya sendiri memuat soal OSN. Yang benar saja, Pak. Saya tantang Bapak untuk duduk dan mengerjakan soal Matematika yang kami dapat di UN kemarin selama dua jam tanpa melihat buku maupun internet. Jika Bapak bisa menjawab benar lima puluh persen saja, Bapak saya akui pantas menjadi Menteri. Kalau Bapak berdalih ‘ah, ini bukan bidang saya’, lantas Bapak anggap kami ini apa? Apa Bapak kira kami semua ini anak OSN? Apa Bapak kira kami semua pintar di Matematika, Fisika, Biologi, Kimia, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris sekaligus? Teganya Bapak menyuruh kami untuk lulus di semua bidang itu? Sudah sepercaya itukah Bapak pada kecerdasan kami?
Tidak.
Tentu saja Bapak tidak sepercaya itu pada kami. Sebab jika Bapak percaya, Bapak tidak akan sampai terpikir untuk membuat dua puluh paket soal, padahal lima paket saja belum tentu bobot soal kelima paket itu seratus persen sama. Jika Bapak percaya, Bapak tidak akan sengaja meletakkan persentase UN di atas persentase nilai sekolah untuk nilai akhir kami, padahal belum tentu kemurnian nilai UN itu di atas kemurnian nilai sekolah. Jika Bapak percaya, Bapak tidak akan merasa perlu untuk melakukan sidak. Jika Bapak percaya… mungkin Bapak bahkan tidak akan merasa perlu untuk mengadakan UN.

Kejujuran itu awalnya sakit, tapi buahnya manis.
Dan saya tahu itu, Pak.
Tapi bukankah Pengadilan Negeri tetap ada meski kita semua tahu keadilan pasti akan menang?
Bukankah satuan kepolisian masih terus merekrut polisi-polisi baru meski kita semua tahu kebenaran pasti akan menang?
Dan bukankah itu tugas Bapak dan instansi-instansi pendidikan, untuk menunjukkan pada kami, para generasi muda, bahwa kejujuran itu layak untuk dicoba dan tidak mustahil untuk dilakukan?
Kejujuran itu awalnya sakit, buahnya manis.
Tapi itu bukan alasan bagi Bapak untuk menutup mata terhadap kecurangan yang terjadi di wilayah kewenangan Bapak.
Kami yang berusaha jujur masih belum tahu bagaimana nasib nilai UN kami, Pak. Tapi barangkali hal itu terlalu remeh jika dibandingkan dengan urusan Bapak Menteri yang bejibun dan jauh lebih berbobot. Maka permintaan saya mewakili teman-teman pelajar cuma satu; tolong, perbaikilah UN, perbaikilah sistem pendidikan di negeri ini, dan kembalikan sekolah yang kami kenal. Sekolah yang mengajarkan pada kami bahwa kejujuran itu adalah segalanya. Sekolah yang tidak akan diam saat melihat kadernya melakukan tindak kecurangan. Kami mulai kehilangan arah, Pak. Kami mulai tidak tahu kepada siapa lagi kami harus percaya. Kepada siapa lagi kami harus mencari kejujuran, ketika lembaga yang mengajarkannya justru diam membisu ketika saat untuk mengamalkannya tiba…

Sekeping Pelajaran Berharga dari Gonoharjo

Posted by Fajrul Izzi on 09.33


           HOMESTAY. Informasi ini awalnya kuperoleh dari kawan sekelas, Luthfi Fahmi. Kita semua 1 angkatan awalnya tidak tahu akan seperti apa acaranya, bagaimana konsepnya, dan jadwal kegiatannya. Karena ketidakjelasan informasi, kami bakal mengira bahwa acara absurd yang dinamakan Home Stay bakal umbrus. Intinya pada saat itu, kami, kelas IX A 'sungkan mangkat'. Akan tetapi, karena itu merupakan kegiatan wajib sekolah untuk kelas III, maka kami pun berangkat. Acara yang kami kira absurd ini digelar di Nglimut, Gonoharjo, Kendal.
           Tanggale aku lupa, nek rak salah 10 Oktober, kita satu angkatan berangkat. Sesampai disana, kami mengikuti acara Pembukaan di Balai Desa. Seusainya, kami (yang telah terbagi menjadi beberapa kelompok) digiring ke rumah orang tua asuh masing-masing. Selama 3 hari, kita akan mengikuti sejumlah kegiatan yang dilakukan oleh orang tua asuh.
           Aku sekelompok dengan Bung Rexona Daffa dan Sir Taufik. Orang tua asuh kami bernama Bapak Suraji dan Ibu Almiah. Pak Suraji merupakan seorang Buruh pekerja keras, beliau bekerja selaku buruh dari Senin-Jumat. Pada Sabtu-Minggu nya, beliau berjualan Jagung Bakar di Pemandian Air Panas. Ibu Almiah atau yang akrab dipanggil 'Mbok Yah' ini setiap harinya mengurusi Industri Kolang-Kaling di rumahnya. Dan pada weekend, Bu Almiah juga ikut ke Pemandian Air Panas untuk berjualan makanan dan minuman ringan.

            Tanggal 11 Ba'da Shubuh, aku, daffa, topek sudah langsung diajak oleh Pak Suraji ke hutan untuk mengambil kolang-kaling mentah.


            Disana, kami juga diajari bagaimana cara mengupas buah kolang kaling, bagaimana menjadikannya manisan, dan bagaimana mengolah kolang kaling dengan benar.


Karena hari itu Sabtu, maka kami diminta untuk segera mandi dan sarapan. Hal yang paling EKSTRIM disini adalah ketika mandi. Di kediaman Pak Suraji, kamar mandi-nya tidak terdapat pintu ataupun sehelai kain untuk menutupi. Karena kami sebagai tamu, kami harus menerima dan menghormati tuan rumah. Maka, kami mandi secara bergantian lantas sarapan bersama.
Hari Sabtu, kami diajak oleh Pak Suraji dan Ibu Almiah menuju Pemandian Air Panas "Promas Greenland". Disana, kami masuk gratis. Kami membantu Pak Suraji melayani para pembeli Jagung Bakar sampai sore menjelang maghrib.

           Satu hal yang kami dapat lakukan disana, namun tidak bisa kami lakukan di pondok adalah menonton TV! Ya, kami bisa menonton TV kapanpun. Pak Suraji dan Bu almiah sangat baik terhadap kami. Menyuguhi sarapan, makan siang, makan malam, dsb. 
 -kumpul-kumpul di musholla-

           Aktivitas yang kami lakukan pada hari Minggu tidak berbeda dari Sabtu. Kami kembali membantu berjualan Jagung Bakar. Namun, pada hari Minggu ini, kami mengajak teman-teman ikhwan untuk menyempatkan berenang di pemandian tersebut. Hari itu kami berkumpul bersama.
Dan pada malam terakhir, Daffa menyempatkan diri untuk berpose.

       
    Tak terasa memang, 3 hari berlalu begitu cepat. Keesokan harinya, tepat pada Senin pagi, kami harus kembali pulang ke Sokorejo. Sebelum pulang, Pak Suraji dan Ibu Almiah memberikan kami 3 kresek besar berisi puluhan Jagung rebus. kami membaginya ke rekan-rekan karena takkan sanggup menghabiskan semuanya :P.
           Homestay yang awalnya kami kira merupakan suatu acara yang absurd, membosankan. Ternyata, pada kenyataanya, sebaliknya, jauh panggang dari api. Home Stay banyak memberikan kami pelajaran, pengalaman, dan kenangan. Kami meninggalkan Gonoharjo, meninggalkan orang tua asuh kami, meninggalkan sejuta kenangan disana. Terima Kasih Gonoharjo, Terima Kasih Pak Surajji dan Bu Almiah, Terima Kasih atas Pelajaran hidup yang berharga ini. (izzi)





Search Site